Total Tayangan Halaman

Sabtu, 28 Juli 2012

Al Habib Alwy Bin Ali Al-Habsyi


Betapa sedihnya Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi. Pemuda berusia 22 tahun itu ditinggal mati ayahnya, Habib Ali bin Muhammad Al- Habsyi, Sohibul Simtud Duror, pada tahun 13331 H / 1913 M. kota Seiwun, Hadramaut - yaman, itu terasa asing bagi ayah satu anak ini, Habib Alwi adalah anak bungsu, paling disayang Habib Ali. Begitu juga, Habib Alwi pun begitu menyayangi ayahnya, sehingga dirinya bagaikan layang layang yang putus benangnya.
Hababah Khodijah, kakak sulungnya, yang terpaut 20 tahun, merasakan kesedihan adiknya yang telah diasuhnya sejak kecil. Daripada hidup resah dan gelisah, oleh putrid Habib Ali Al-Habsyi, Habib Alwi disarankan untuk berwisata hati ke Jawa, menemui kakaknya yang lain, Habib Ahmad bin Ali Al-Habsyi di Betawi.
Habib Alwi pergi ke Jawa ditemani Salmin Doman, santri senior Habib Ali Al-Habsyi, sekaligus sebagai pengawal. Beliau meninggalkan istri yang masih mengandung di Seiwun, yang tak lama kemudian melahirkan, dan anaknya diberi nama Ahmad bin Alwi Al-Habsyi.

Kabar kedatangan Habib Alwi telah menyebar di Jawa, karena itulah banyak murid ayahnya ( Habib Ali Al-Habsyi ) di Jawa menyambutnya, dan menanti kedatangannya di kota masing-masing.
Pertama kali Habib Alwi tinggal di Betawi beberapa saat. Kemudian beliau ke Garut, Jawa Barat, menikah lagi. Dari wanita ini lahir Habib Anis dan dua adik perempuan Sakinah dan Habsyiah. Lalu, beliau pindah ke Semarang, Jawa Tengah. Disana beliau menikah lagi, dianugerahi banyak anak, diantaranya Habib Abdullah, Rodhiyah, Anisah (Moen), dan Arfah.
Selanjutnya beliau pindah lagi ke Jatiwangi, Jawa Barat, dan menikah lagi dengan wanita setempat. Dari perkawinan itu, beliau memilki enam anak, tiga lelaki dan tiga perempuan. Di antaranya adalah Habib Ali, Habib Musthofa, Habib Fadhil, Aisyah, Hodijah, dan Seiwun.
Akhirnya, Habib Alwi pindah ke Solo, Jawa Tengah. Pertama kali, Habib Alwi sekeluarga tinggal di Kampung Gading, di tempat seorang raden dari Kasunan Surakarta. Kemudian beliau mendapatkan tanah wakaf dari Habib Muhammad Al-Aydrus ( kakek Habib Musthafa bin Abdullah Al-Aydrus, Pemimpim Majlis Dzikir Ratib Syamsisy Syumus ), seorang juragan tenun dari kota Solo, di Kampung Gurawan.
Wakaf itu dengan ketentuan : didirikan masjid, rumah, dan halaman di antara masjid dan rumah. Masjid tersebut didirikan pada tahun 1354 H / 1934 M. 
Habib Ja’far Syaikhan Assegaf mencatat tahun selesainya pembangunan Masjid Riyadh itu dengan sebuah ayat 14 surah Shaf ( 61 ) di dalam al-Qur’an, yang huruf-hurufnya berjumlah 1354. Ayat tersebut, menurut Habib Ja’far yang meninggal di Pasuruan 1374 H / 1954 M ini, sebagai pertanda bahwa Habib Alwi akan terkenal dan menjadi khalifah pengganti ayahnya, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi.
Sementara rumah di Gurawan No.6 itu lebih dahulu berdiri dan halaman yang ada kini disambung dengan masjid dan rumah menjadi ruang Zawiyah ( pesantren ) dan sering digunakan untuk kegiatan haul, Maulid, dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya. Struktur ruang Zawiyah ini seperti Raudhah, taman surga di Madinah, yaitu ruang antara kamar Nabi saw dan masjid Nabawi. Sekarang bangunan bertambah dengan pembangunan gedung empat lantai yang menghdap ke Jln. Kapten Mulyadi 228, yang oleh banyak kalangan disebut Gedung Al-Habsyi.
Tentang rumah Habib Alwi di Solo, Syekh Umar bin Ahmad Baraja’, seorang giru di Gresik, pernah berujar, rumahnya di Solo seakan Ka’bah, yang dikunjungi banyak orang dari berbagai daerah. Ucapan ulama ini benar. Sekarang, setiap hari rumah dan masjidnya dikunjungi para habib dan muhibbin dari berbagai kota untuk tabarukan atau mengaji.
Habib Alwi telah memantapkan kemaqamannya di Solo. Masjid Riyadh dan Zawiyahnya semakin ramai dikunjungi orang. Beliau tidak saja mengajar dan menyelenggarakan kegiatan keagamaan sebagaimana dulu ayahnya di Seiwun, Hadramaut. Namun beliau juga memberikan terapi jiwa kepada orang-orang yang hatinya mendapat penyakit.
Ketika di Surabaya, bertempat di rumah Salim bin Ubaid, diceritakan Habib Alwi didatangi seseorang dari keluarga Chaneman, yang mengeluhkan keadaan penyakit ayahnya dan minta doa’ dari Habib Alwi. Beliau mendoa’kan dan menganjurkannya untuk memakai cincin yang terbuat dari tanduk kanan kerbau yang berkulit merah. “Insya Allah. Penyakitmu akan sembuh.” Katanya waktu itu.
Tahun 1952, Habib Alwi melawat ke kota-kota di Jawa Timur. Kunjungannya disertai Sayyid Muhammad bin Abdullah Al-Aydrus, Habib Abdul Qadir bin Umar Mulchela ( ayah Habib Husein Mulachela ), Syekh Hadi bin Muhammad Makarim, Ahmad bin Abdul Deqil dan Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf ( ayah Habib taufiq Assegaf, Pasuruan ), yang kemudian mencatatnya dalam sebuah buku yang diterjemahkan Ustd.Novel bin Muhammad Al-Aydrus berjudul Menjemput Amanah.
Perjalanan rombongan Habib Alwi ke Jawa Timur itu berangkat tahun 1952. tujuan utama perjalanan tersebut adalah mengunjungi Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf ( 1285-1376 H / 1865-1956 M ) di Gresik. Namun beliau juga bertemu Habib Husein bin Muhammad Al-Haddad ( 1303-1376 H / 1883-1956 M ) di Jombang, Habib Ja’far bin Syeikhan ( 1289-1374 H / 1878-1954 M ) di Pasuruan dan ulama lainnya.
Setahun setelah kepergiannya ke Jawa Timur, pada tahun 1953 Habib Alwi pergi ke kota Palembang untuk menghadiri pernikahan kerabatnya. Namun, di kota itu, beliau menderita sakit beberapa saat. Seperti tahu bahwa saat kematiannya semakin dekat, beliau memanggil Habib Anis, anak lelaki tertua yang berada di Solo. Dalam pertemuan itu beliau menyerahkan jubahnya dan berwasiat untuk meneruskan kepemimpinannya di Masjid dan Zawiyah Riyadh di Solo. Habib Anis, yang kala itu berusia 23 tahun, dan baru berputra satu orang, yaitu Habib Ali bin Anis, harus mengikuti amanah ayahnya.
“Sebetulnya waktu itu Habib Anis belum siap untuk menggantikan peran ayahnya. Tetapi karena menjunjung amanah, wasiat itu diterimanya. Jadi dia adalah anak muda yang berpakaian tua.” Tutur Habib Ali Al-Habsyi, adik Habib Anis dari lain ibu.
Akhirnya Habib Alwi meninggal pada bulan Rabi’ul awal 1373 H / 27 November 1953. pihak keluarga membuka tas-tas yang dibawa oleh Habib Alwi ketika berangkat ke Palembang. Ternyata satu koper ketika dibuka berisi peralatan merawat mayat, seperti kain mori, wangi-wangian, abun dan lainnya. Agaknya Habib Alwi telah diberi tanda oleh Allah swt bahwa akhir hidupnya sudah semakin dekat.
Namun ada masalah dengan soal pemakaman, Habib Alwi berwasiat supaya dimakamkan di sebelah selatan Masjid Riyadh Solo, sedang waktu itu tidak ada penerbangan komersil dari Palembang ke Solo. Karena itulah, pihak keluarga menghubungi AURI untuk memberikan fasilitas penerbangan pesawat buat membawa jenazah Habib Alwi ke Solo. Ternyata banyak murid Habib Alwi yang bertugas di Angkatan Udara, sehingga beliau mendapatkan fasilitas angkutan udara. Karena itu jenazah disholatkan di tiga tempat : Palembang, Jakarta dan Solo.
Ada peristiwa unik yang mungkin baru pertama kali di Indonesia, bahkan di Dunia. Para kerabat dan Kru pesawat terbang AURI membacakan Tahlil di udara.
Masalah lain timbul lagi. Pada tahun itu, sulit mendapatkan izin memakamkan seseorang di lahan pribadi, seperti halaman Masjid Riyadh. Namun berkat kegigihan Yuslam Badres, yang kala itu menjadi anggota DPRD kota Solo, izin pun bisa didapat, khusus dari gubernur Jawa tengah, sehingga jenazah Habib Alwi dikubur di selatan Masjid Riyadh.
Makamnya sekarang banyak di ziarahi para Habib dan Mihibbin yang datang dari berbagai kota. Beliau dikenang serbagai ulama yang penuh teladan, tangannya tidak lepas dari tasbih, juga dikenal sangat menghormati tamu yang datang kepadanya. Habib Alwi pin tidak pernah disusahkan oleh harta benda. Meski tidak kaya, ketika mengadakan acara haul atau Maulid, ada saja rezeki yang didapatnya. Allah swt telah mencukupi rezekinya dari tempat yang tidak terduga.

Habib Ali Bin Muhammad Al-Habsyi


Ibu kandungku adalah seorang sayyidah shalihah, arifah billah, dan da’iyah ilallah, Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri. Beliau berasal dari kota Syibam. Sementara ayahku adalah seorang yang gemar berdakwah di kalangan pria maupun wanita.
Ketika mendengar ihwal ibuku, ayah­ku ingin memperistri dan membawanya ke kota kediamannya. Saat itu beliau masih tinggal di Taribah. la kemudian meminta tolong dua orang Arif billah, Umar bin Muhammad Bin Smith dan Ahmad bin Umar bin Zain Bin Smith untuk meminang ibuku.
Kedua sayyid itu lalu menemui kakekku, yang shalih, Husein bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri. Keduanya menceritakan maksud kedatangan mereka dan menjelaskan bahwa ayahku adalah seorang ahli dakwah. Mereka berdua menganjurkan agar beliau menerima lamaran ayahku.
Kakekku lalu menerima lamaran ayahku. Beliau sama sekali tidak menanyakan keadaan keuangan ayahku.
Masa Kecil sampai Usia Dewasa
Aku lahir di Desa Qasam, suatu desa yang dinisbahkan kepada Sayyidina Ali bin Alwi Khali’ Qasam (w. 529 H/1135 M), semoga Allah memberi kita manfaat dengannya. Desa yang penuh dengan cahaya. Di desa ini Habib Ali bin Alwi bercocok tanam.
Beberapa salaf kita juga sering berkunjung ke desa ini, mereka membangun masjid dan rumah di sana. Di antaranya, Sayyidina Al-Arif Al-Quthb Asy-Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Assegaf. Di desa ini beliau membangun sebuah masjid yang besar. Beberapa tokoh Alawiyyin yang lain juga melakukan hal yang sama.
Aku lahir di desa itu pada hari Jum’at, 24 Syawwal 1259 H/1843 M.
(Ketika Habib Ali berusia tujuh tahun, yakni pada tahun 1226 H/1850, Habib Muhammad, yaitu ayah Habib Ali, hijrah ke Makkah, bersama tiga saudara Habib Ali yang telah dewasa: Abdullah, Ahmad, dan Husein. Habib Muhammad menyerahkan sang putra, Habib Ali, di bawah asuhan ibunya, yang tetap tinggal di Qasam. Kemudian Habib Ali bersama ibunya pindah ke Seiwun pada usia sebelas ta­hun. Dalam perjalanan ke Seiwun, ia melewati Masilah dan singgah di rumah Allamah Sayyid Abdullah bin Husein Bin Thahir. la menggunakan kesempatan itu untuk menelaah kitab, mengambil ijazah, dan ilbas).
Ibuku dahulu mendoakan aku, “Ali, semoga Allah meninggikan kedudukanmu di dunia dan akhirat.”
Beliau sering mengulang-ulang doa ini sampai Allah mengabulkannya dan meninggikan kedudukanku di dunia, dan aku berharap Dia akan meninggikan keduduk­anku pula di akhirat. Masyarakat senang menyebut namaku. Orang-orang yang tidak kukenal datang dari tempat-tempat yang jauh hanya untuk memandangku.
Aku membaca kehidupan orang-orang shalih dalam buku-buku salaf, meneliti maqam mereka, dan melihat kelemahanku. Lalu kukatakan kepada ibuku, “Bu, katakanlah, ”Ya Allah, berilah anakku Ali maqam Fulan dan maqam Fulan.”
Beliau berdoa dan aku mengamini. Doa kedua orangtua akan dikabulkan oleh Allah. Dan ibuku adalah seorang yang shalihah.
Qubah Makam Al-Habib Ali Al-Habsyi
Suatu hari ayahku mengirim sepucuk surat kepadaku dari Makkah. Di dalamnya beliau menulis: Pergilah ke Makkah, kau tak kuizinkan tinggal di Hadhramaut.
Aku segera memberi tahu ibuku. “Kita tidak bisa menentang kehendak ayahmu,” kata ibuku.
Sebenarnya ibuku tidak sanggup berpisah denganku, aku pun merasa berat untuk berpisah dengannya. Jika teringat perjalanan yang harus kulakukan ini, kami menangis.
Jam berganti hari, hari berganti minggu, dan waktu keberangkatanku semakin dekat. Pada saat keberangkatan, ibuku berpesan kepada Ahmad Ali Makarim, ”Tolong perhatikan Ali, ia belum pernah me­lakukan perjalanan jauh.”
Baik,” jawabnya. Kami kemudian berangkat meninggalkan Seiwun menuju Makkah.
Di tengah perjalanan kami singgah di Syihr. Setiap hari, aku makan siang dan malam hanya berlaukkan sepotong ikan yang kubeli dengan uang satu umsut.
Dari Syihr, aku pergi ke Jeddah, ke mudian ke Makkah, ke tempat ayahku. Beliau sangat senang dengan kedatanganku.
(Beberapa lamanya Habib Ali tinggal di Makkah bersama ayahnya dan menimba ilmu kepada sang ayah, yang tak lain adalah mufti Syafi’iyyah di Masjidil Haram. Suatu hari sang ayah mengutusnya menemani Habib Alwi Assegaf, yang hen- dak dinikahkannya dengan Syarifah Aminah, saudara perempuan Habib Ali, ke Hadhramaut. Setelah selama dua sampai tiga bulan tinggal di Seiwun, Habib Alwi kembali ke Makkah bersama istrinya, sedangkan Habib Ali tetap tinggal di Seiwun).
Aku dan ibuku kemudian pergi ke Qasam. Di sana aku menikah dengan ibu Abdullah (putra tertua Habib Ali). Pernikahan kami berlangsung sangat sederhana. Penduduk Qasam adalah orang-orang yang cinta kebaikan. Setiap tamu undangan memberi kami dua mud gandum. Kami memotong seekor kambing untuk jamuan makan di malam pernikahan.
Hormat dan Ta’zhim kepada Guru
Ketika Habib Abubakar bin Abdullah Al-Aththas datang ke Seiwun bertamu di rumah Ammi (Pamanda) Muhammad bin Ali Assegaf, aku pergi untuk menemuinya.
Kuketuk pintu rumah Ammi Muham­mad. Habib Abubakar bertanya, “Siapa yang mengetuk pintu?”
“Biarkan saja ia di depan rumah, jangan kau bukakan pintu!” kata Habib Abubakar kepada Ammi Muhammad.
Aku mendengar suara Habib Abu­bakar, lalu aku duduk dan teringat cerita Habib Ali bin Abdullah ketika hendak menemui syaikhnya, Habib Ali bin Abdullah Alaydrus. la tidak dibukakan pintu, dan dibiarkan di depan rumah. la bahkan diguyur kepalanya dengan air bekas cucian tangan setelah makan. Namun perlakuan ini tidak mengusiknya, ia tetap duduk di depan rumah sampai dibukakan pintu.
Beberapa saat kemudian Ammi Muhammad melongok ke bawah dan melihatku tetap duduk menunggu. ia bertanya kepada Habib Abubakar, “Kita bukakan pintu?”
“Jangan!” jawab Habib Abubakar. Aku bersabar menunggu sampai kemudian Habib Abubakar berkata kepada Ammi Muhammad, “Katakan kepadanya agar menemuiku di rumah Abdul Qadir bin Hasan bin Umar bin Saggaf, katakan bahwa aku hendak pergi ke sana,” kata Habib Abubakar.
Aku lalu pergi ke sana dan bertemu Habib Abubakar. la menyingkap isi hatiku, “Ketahuilah, kau seperti Habib Ali bin Abdullah, bahkan lebih besar.”
Habib Abubakar berkata kepadaku, “Syarat pertama yang kutujukan kepadamu adalah bahwa kau harus terus mengajarkan ilmu zhahir, dan tidak boleh menyibukkan diri dalam ilmu bathin.”
Aku menjalankan perintah, yakni selalu mengajarkan ilmu zhahir dan tidak pernah menyibukkan diri dalam ilmu ba­thin, karena perintah Habib Abubakar.
Suatu ketika Habib Abubakar datang ke Seiwun di waktu malam, dan aku tidak tahu. Sewaktu tidur aku mendengar suara, “Bagaimana kau bisa tidur, padahal syaikhmu datang ke kota ini?” Suara itu diulang sepuluh kali sehingga aku terbangun.
Keesokan harinya aku bertanya tentang Habib Abubakar dan mendapati be­liau di Masjid Thaha. Masjid telah penuh dengan habaib, di antaranya adalah Ammi Muhsin bin Alwi, Ammi Muhammad bin Ali, dan Iain-Iain. Namun demikian, aku tidak melihat seorang pun kecuali Habib Abubakar, karena luapan rasa cintaku.
Sejak saat itu pintu hubunganku de­ngan beliau mulai terbuka. Sewaktu aku menjabat dan mencium tangan beliau, beliau berkata, “Selamat datang, Al-Habsyi kami.”
Aku berhubungan dengan Habib Abu­bakar dan beliau memperlakukan aku dengan akhlaq yang sangat luhur. Beliau mencurahkan segenap ilmunya, walau pertemuanku dengan beliau hanya ber­langsung kurang lebih empat kali. Namun satu detik bersama beliau lebih dari cukup.
(Habib Ali juga sering pergi ke Tarim untuk menuntut ilmu dari orang-orang alim di sana. Di sana ia bertemu Sayyid Abdullah bin Husein bin Muhammad, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Al-Allamah Umar bin Hasan Al-Haddad, dan ulama besar sezamannya yang lain, seperti Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, Habib Ali bin Idrus Bin Syihab dan Imam Umar bin Abdurrahman Bin Syihab. Penduduk Tarim dan yang lainnya menyambutnya karena mereka melihat tanda kebaikan pada dirinya. Habib Ali juga menuntut ilmu dari ulama di zamannya, seperti Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhar, imam para sayyid yang mulia, Habib Ahmad bin Ab­dullah bin Idrus Al-Bar, Imam Idrus bin Umar bin Idrus Al-Habsyi, dan yang lainnya).
Ribath dan Masjid Ar-Riyadh
Selama tiga puluh tahun aku tinggal di daerah ini (kota Qasam), di Masjid Hambal. Siang dan malam Masjid Hambal makmur dengan dzikirtilawatul Qur’an dan pengajian. Para tetangga masjid ini banyakyang menjadi pengusaha, namun mereka semua orang yang gemar beribadah. Mereka melaksanakan berbagai ke- bajikan, membaca Al-Qur’an, dan shalat di akhir malam.
Ketika aku mengajar di Masjid Ham­bal, yang menghadiri majelisku sekitar 400 orang. Sewaktu aku masih menjadi imam di Masjid Hambal, masjid itu penuh dengan kebajikan. Orang beribadah d situ, me­nuntut ilmu di situ, dan mendapatkan makanan lezat di situ.
Setiap shalat Tarawih, aku membaca sepuluh juz, setiap rakaat delapan muqra’. Sedangkan malam Jum’at, dari sahur hingga fajar kugunakan untuk membaca Dalail.
(Ketika Habib Ali berusia 37 tahun, ia membangun ribath yang pertama di Hadhramaut, yaitu di kota Seiwun, untuk para penuntut ilmu dari dalam dan luar kota. Biaya orang-orang yang tinggal di ribath itu ia tanggung sendiri. Di samping itu ada juga beberapa wakaf yang digunakan untuk membiayai keperluan mereka).
Para penghuni ribath adalah orang-orang baik yang kebanyakan berasal dari luar kota. Siang dan malam mereka lewatkan dalam ketaatan: ada yang mem­baca Al-Qur’an, mengajar, menghafal, dan ada yang mengulang pelajarannya. Kita wajib melayani mereka siang dan malam.
Alhamdulillah, semenjak selesai dibangun, ribath ini selalu makmur. Setiap kali mereka menyelesaikan pelajaran, se­tiap kali pula datang orang lain yang menuntut ilmu. Syaikh Muhammad Bathweih, semoga Allah memberkatinya, selalu berada di ribath, ia “meninggalkan” keluarganya untuk mengajar di ribath. Semenjak kedatangannya di ribath, ia selalu menyibukkan diri dengan ilmu. Semua guru yang sekarang mengajar di Seiwun adalah pelajar-pelajar yang dulu telah selesai belajar kepadanya. Beliau mengajar dan memperhatikan mereka. Beliau adalah seorang yang benar-benar alim.
Ketika aku melewati ribath, terdengar gemuruh suara orang yang sedang mem­baca Al-Qur’an, berdzikir, belajar, dan berceramah. Aku mengucapkan puji syukur ke­pada Allah, yang telah menyenangkan hatiku dengan mewujudkan niatku mendirikan ribath. Ribath ini kudirikan dengan niat-niat yang baik, dan ribath ini menyimpan rahasia (sirr) yang besar, menyadarkan mereka yang lalai, dan membangunkan mereka yang tertidur.
Betapa banyak faqih yang telah dihasilkannya, betapa banyak orang alim yang telah diluluskannya. Ribath Ini mengubah orang yang tidak mengerti apa-apa menjadi orang yang alim.
(Ketika Habib Ali berusia 44 tahun, ia membangun masjid yang kemudian dl namai “Masjid Ar-Riyadh”. Berikut syi’ir Habib Ali tentang Masjid Ar-Riyadh yang ia gubah pada bulan Syawwal 1305 H/ 1888 M)
Inilah Riyadh,
ini pula sungai-sungainya yang mengalir
Yang memakmurkan mereguk segar airnya
Yang bermukim tercapai tujuannya
Yang berkunjung terkabul keinginannyn Masjid ini dibangun di atas tujuan yang shahih
Maka terlihatlah tanda-tanda keberhasilannya
Maulid Simthud Durar
(Ketika usia Habib Ali menginjak 68 tahun, ia menulis kitab Maulid yang diberi nya nama Simthud Durar. Maulid ini kemudian mulai tersebar luas di Seiwun, juga di seluruh Hadhramaut dan tempat tempat lain yang jauh, hingga sampai pula ke Nusantara).
Maulid Simthud Durar
Dakwahku akan tersebar ke seluruh wujud. Maulidku ini akan tersebar ke tengah-tengah masyarakat, akan mengumpulkan mereka kepada Allah, dan akan membuat mereka dicintai Nabi SAW.
Jika seseorang menjadikan kitab Maulid-ku ini sebagai salah satu wiridnya atau menghafalnya, rahasia (sirr) Al Habib SAW akan tampak pada dirinya.
Aku yang mengarangnya dan mendiktekannya, namun setiap kitab itu dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Nabi SAW
Pujianku kepada Nabi SAW dapat diterima oleh masyarakat. Ini karena besarnya cintaku kepada Nabi SAW. Bahkan dalam surat-suratku, ketika aku menyifatkan Nabi SAW, Allah membukakan ke­padaku susunan bahasa yang tidak ada sebelumnya. Ini adalah ilham yang diberikan Allah kepadaku.
Dalam surat-menyuratku ada bebe­rapa sifat agung Nabi SAW. Andaikan Nabhani (Syaikh Yusuf bin Ismail An- Nabhani, seorang alim besar dari Iskandaria yang produktif dalam menulis kitab dan hidup semasa dengan Habib Ali) membacanya, tentu ia akan memenuhi kitab-kitabnya dengan sifat-sifat agung itu.
Munculnya Maulid Simthud Durar di zaman ini akan menyempu makan kekurangan orang-orang yang hidup di zaman akhir. Sebab, tidak sedikit pemberian Allah kepada orang-orang terdahulu yang tidak dapat diraih oleh orang-orang za­man akhir. Tapi setelah Maulid ini datang, ia akan menyempurnakan apa yang telah terlewatkan. Dan Nabi SAW sangat menyukai Maulid ini.
Kesendirianku bersama Tuhanku
Makam Beliau
Alhamdulillah, sejak kecil aku tidak pernah memperturutkan hawa nafsuku. Kadangkala orang yang mendengar ucapan mereka yang memusuhiku da­tang menemuiku dan berkata, “Doakanlah mereka dengan keburukan.”
Aku jawab, ”Tidak!” Aku bahkan mendoakan agar Allah memberi hidayah ke­pada mereka dan memperbaiki kesalahan mereka. Dan, alhamdulillah, maqam ini telah kupegang selama lima puluh tahun, dan setiap tahun selalu meningkat.
Ini merupakan karunia Allah SWT. Aku tidak memintanya, baik dengan hati maupun lisan, akan tetapi Allah SWT te­lah bermurah kepadaku.
Sesungguhnya aku tidak menyukai sambutan-sambutan dan kerumunan orang yang ada di sekitarku. Yang kusukai adalah kesendirianku bersama Tuhanku.
(Zhuhur, hari Ahad, 20 Rabi’ul Akhir 1333 H/1915 M, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi wafat. Waktu ashar keesokan harinya, jenazahnya diantar ke makam dalam suatu iring-iringan yang, karena begitu banyak dihadiri oleh manusia, digambarkan dengan tidak ada awal dan akhirnya. Jenazah Habib Ali kemudian dikebumikan di sebelah barat Masjid Ar-Riyadh)

Kamis, 26 Juli 2012

Habib Abdullah Bin Alwy Al-Habsyi

Habib Abdullah Bin Alwy Al-Habsyi adalah adik langsung dari habib Muhammad Anis Bin Alwy Al-Habsyi. Beliau tinggal di kota Solo (Surakarta), tepatnya di Semanggi, Kec.Psr.Kliwon - Solo.
Beliau terkenal santun, murah senyum, dan hobi silaturahmi terhadap saudara-saudaranya. Beliau juga terkenal dalam memberikan nasehat, serta doa bagi jama'ah yang banyak datang kepada beliau dalam keadaan sakit, bermasalah dalam keluarga, dan rumah tangga. Bahkan banyak pula diantaranya para Habaib serta ulama yang datang kepada beliau untuk meminta nasehat serta doa untuk keperluan pribadi, maupun umat.
Alhabib yang sering dipanggil "Abah" oleh sebagian Muhibbin ini, tidak pernah tampil mencolok. Beliau banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dirumah, dimasjid Riyad - Solo, serta berkumpul bersama putra, dan para keponakannya. Beberapa Habib sepuh menjuluki beliau "Habib Penyabar" karna kesabaran serta sikap "Nerimo" (red: menerima) semuanya dengan iklas dan lapang dada. Banyak kelebihan - kelebihan beliau yang dilihat dan dirasakan oleh para habaib, jama'ah disekitar beliau. Alhabib tidak pernah menyusahkan keluarga maupun jama'ah. Ahlaq yang beliau jaga sebagai buah dari pendidikan ayahandanya Al Habib Alwy Bin Ali Al-Habsyi terpancar jelas disetiap tindak - tanduknya sehari hari. Tidak terkecuali dari kalangan orang awam, pejabat sipil, hingga militer datang kepada beliau hanya ingin meminta nasehat penyejuk hati.
Kediaman Alhabib Abdullah Bin Alwy Al-Habsyi di Semanggi tidak pernah surut dari tamu setiap waktunya. Rumahnya yang kecil tapi terasan dingin itu seolah mengayomi semua tamu - tamu yang hadir bertandang.
Saat ini beliaulah sesepuh keluarga besar Al-Habib Ali Bin Muhammad Al-Habsyi atau sering disebut Keluarga Riyad. Bersama keluarga besarnya, serta para putra Almarhum Alhabib M.Anis, beliau melestarikan kemakmuran masjid Riyad, sepeninggal Alhabib M.Anis Bin Alwy Al-Habsyi sebagai pusaka peninggalan ayahandanya tercinta.

Semoga Allah Ta'ala selalu menjaga beliau dengan limpahan rahmatNya, memanjangkan umurnya, karna kami masih membutuhkan selalu doa dan nasehat beliau...

Habib Muhammad Anis Bin Alwy Bin Ali Al-Habsyi

Habib Muhammad Anis (Habib Anis) lahir di Garut Jawa Barat, Indonesia pada tanggal 5 Mei 1928. Ayah beliau adalah Habib Alwi. Sedangkan ibu beliau adalah syarifah Khadijah. Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke Solo. Setelah berpindah-pindah rumah di kota Solo, ayah beliau menetap di kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo. Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping rumahnya. Pada usia 22 tahun, beliau menikahi Syarifah Syifa binti Thaha Assagaf, setahun kemudian lahirlah Habib Ali. Tepat pada tahun itu juga, beliau menggantikan peran ayah beliau, Habib Alwi yang meninggal di Palembang. Habib Abdullah bin Alwi Al Habsyi adik beliau menyebut Habib Anis waktu itu seperti “anak muda yang berpakaian tua”. Habib Anis merintis kemaqamannya sendiri dengan kesabaran dan istiqamah, sehingga besar sampai sekarang. Selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid simthud-Durar dan haul Habib Ali Al-Habsyi, juga ada khataman Bukhari pada bulan sya’ban, khataman Ar-Ramadhan pada bulan Ramadhan. Sedangkan sehari-hari beliau mengajar di zawiyah pada tengah hari. Pada waktu muda, Habib Anis adalah pedagang batik, dan memiliki kios di pasar Klewer Solo. Kios tersebut ditunggui Habib Abdullah dan Habib Ali yang semuanya adik beliau. Namun ketika kegiatan di masjid Ar-Riyadh semakin banyak, usaha perdagangan batik dihentikan. Habib Anis duduk tekun sebagai ulama. Dari perkawinan dengan Syarifah Syifa Assagaf, Habib Anis dikaruniai enam putera yaitu Habib Ali, Habib Husein, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib Hasan, dan Habib AbdiLlah. Semua putera beliau tinggal di sekitar Gurawan. Dalam masyarakat Solo, Habib Anis dikenal bergaul lintas sektoral dan lintas agama. Dan beliau netral dalam dunia politik. Dalam sehari-hari Habib Anis sangat santun dan berbicara dengan bahasa jawa halus kepada orang jawa, berbicara bahasa sunda tinggi dengan orang sunda, berbahasa indonesia baik dengan orang luar jawa dan sunda, serta berbahasa arab Hadrami kepada sesama Habib. Penampilan beliau rapi, senyumnya manis menawan, karena beliau memang murah senyum dan memiliki tahi lalat di dagu kanannya. Beberapa kalangan menyebutnya The smilling Habib. Habib Anis sangat menghormati tamu, bahkan tamu tersebut merupakan doping semangat hidup beliau. Beliau tidak membeda-bedakan apahkah tamu tersebut berpangakat atau tidak, semua dijamunya dengan layak. Semua diperlakukan dengan hormat. Saat ‘Idul Adha Habib Anis membagi-bagikan daging korban secara merata melalui RT sekitar Masjid Ar-Riyadh dan tidak membedakan Muslim atau non Muslim. Kalau dagingnya sisa, baru diberikan ke daerah lainnya. Jika ada tetangga beliau atau handai taulan yang meninggal atau sakit, Habib Anis tetap berusaha menyempatkan diri berkunjung atau bersilautrahmi. Menjelang hari raya Idul Fitri Habib Anis juga sering memberikan sarung secara Cuma-Cuma kepada para tetangga, muslim maupun non muslim. “Beri mereka sarung meskipun saat ini mereka belum masuk islam. Insya Allah suatu saat nanti dia akan teringat dan masuk islam.” Demikian salah satu ucapan Habib Anis yang ditirukan Habib Hasan salah seorang puteranya. Tokoh ulama yang khumul lagi wara`, pemuka dan sesepuh habaib yang dihormati, Habib Anis bin Alwi bin Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi berpulang kembali menemui Allah s.w.t. pada tanggal 14 Syawwal 1427 H bersamaan 6 November 2006 dalam usia 78 tahun. Beliau dimakamkan dikomplek Masjid Riyadh Solo, Jawa Tengah.